Penjual Gorengan dan Lontong mampu menguliahkan anaknya di Jerman


ceaster.com – Watiyah, 61 tahun, terduduk di lantai 20 Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen Senayan. Mak Wati, begitu perempuan ini sedang menghitung lembaran uang pecahan Rp 2 ribu hingga Rp 100 ribu.

 

Di depannya terdapat tiga kantong dagangan yang sudah dibungkus rapi. Dia bersiap pulang ke rumahnya di kawasan Cidodol, Kebayoran Lama. Jam baru menunjukkan pukul 1 siang.

 

“Alhamdulilah sudah mau habis,” kata Mak Wati kepada Tempo di lantai 20 Gedung Nusantara I, Senayan, Rabu, 15 Mei 2013. Dia menunjuk dagangannya yang tandas tak bersisa.

 

Tempo lalu memesan nasi sayur daun singkong ke Mak Wati. Nasi ini merupakan tiga makanan terakhir di lapak Mak Wati. Selain Tempo, ada juga sejumlah wartawan televisi yang menanti wawancara dengan Mak Wati. “Cieee, Mak jadi selebritis nih ye,” seorang staf Fraksi PAN meledek. Mak Wati hanya tersenyum mesem-mesem mendengar celetukan ini.

 

Mak Wati mungkin kaget dirinya tiba-tiba menjadi pusat perhatian media. Wajahnya terlihat lelah meskipun tetap tersenyum menjawab pertanyaan wartawan. Dia bercerita, sejak beberapa hari terakhir banyak pesan wartawan yang masuk ke telepon genggamnya. Semua berisi permintaan wawancara mengenai sosoknya sebagai penjual gorengan dan anaknya, Riska Panca Widowati, yang sedang sekolah di Jerman. “Informasi sebelumnya banyak yang salah,” kata dia.

 

Semua bermula pada September 2011. Ketika itu putri bungsu Mak Wati bercerita kalau  dia baru memperoleh beasiswa ke Jerman. Awalnya Mak Wati tak setuju putrinya itu meninggalkan Indonesia dan belajar ke negeri orang sendirian. Dia beralasan, usia Riska masih terlalu muda untuk hidup sendiri di luar negeri. Riska sendiri menjadi penerima beasiswa unggulan Badan Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Riska lalu terdaftar di jurusan Bahasa Perekonomian Jerman dan Manajemen Pariwisata di Hochschule Konstanz, Jerman. Mak Wati pun bercerita ke pelanggannya di DPR. Dorongan pun diberikan oleh staf Sekretariat DPR. “Kesempatan tidak datang dua kali lho,” kata Mak Wati menirukan omongan staf di DPR. http://www.ceaster.com Ceaster Corp

Mak Wati sehari-hari berkeliling menjual aneka makanan di Gedung Nusantara I. Makanan yang ditawarkan macam-macam. Misalnya, nasi sayur, lontong sayur, bakwan, tahu isi hingga tahu goreng. Selain untuk menutupi kebutuhan hidup, Mak Wati mengaku berdagang karena ingin menghibur diri dan bersosialisasi. “Biar nggak stress,” kata dia.

 

Mak Wati lahir di Jakarta, 16 Februari 1953. Masa kecilnya dihabiskan di kompleks perumahan PT Kereta Api. Ayahnya merupakan pegawai di perusahaan tersebut. Mak Wati mengaku hanya lulusan Sekolah Rakyat di Manggarai. Dia lalu menikahi Wagimin pada 20 Februari 1969. Suaminya sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan. Mak Wati menuturkan, dalam sehari dia bisa mengantongi keuntungan Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu.

 

Hasil perkawinannya dengan Wagimin, Mak Wati memiliki lima orang anak. Dua anak pertamanya, kembar yakni Mulyani dan Mulyanti, dua anak berikutnya adalah Teguh Suroso dan Triyono. Awalnya, Mak Wati hanya ingin punya empat anak. Namun tak disangka-disangka dia justru hamil dan melahirkan Riska. Selisih umur putri bungsunya dengan Triyono adalah 15 tahun. “Saya bilang, ini anak akan bawa rejeki lain,” kata dia.

 

Tak ingin merasa jauh dari anaknya, Mak Wati kerap berhubungan dengan anaknya via Facebook. Terakhir, kekasih sang putri, Hermawan menambah aplikasi Skype di komputer meja rumahnya. Mak Wati bercerita, melalui Skype inilah dia kerap menyapa anaknya. Emang Mak Wati bisa mengoperasikan komputer? “Kan saya diajarin, belajar juga gitu,” ujarnya.

 

Dari jejaring sosial inilah, Mak Wati melepas kangen dengan anaknya. Rencananya, September 2013 mendatang Riska akan merampung studinya di Jerman dan kembali ke Indonesia. “Bagi Emak, pendidikan itu yang utama,” kata Mak Wati menutup pembicaraan.

Ceaster Corp